Thursday, 16 June 2011

MENGGAGAS PEMBELAJARAN SASTRA BERPRESPEKTIF JENDER

A. Pendahuluan 
Pembelajaran sastra di Indonesia ternyata tidak pernah lepas dari berbagai persoalan, baik yang berkaitan dengan keberadaannya di sekolah -yang menyatu dengan pembelajaran bahasa Indonesia, materi, bahan ajar penunjang, sampai metode serta cara penyampaiannya. Berbagai diskusi dan kajian telah diadakan untuk memecahkan masalah tersebut, namun masalah pun tak kunjung habis.

Makalah ini ditulis untuk menawarkan sebuah gagasan yang diharapkan dapat ikut memberikan sumbangan pemikiran untuk mengurai dan menjawab salah satu masalah yang berhubungan dengan kurikulum, materi, dan metode dalam pembelajaran sastra, yaitu dengan menggagas pembelajaran sastra yang berprespektif jender. Ide ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa perkembangan paradigma ilmu-ilmu sosial, budaya, dan pendidikan dalam menjawab permasalahan yang terjadi dalam masyarakat akhir-akhir ini, diharapkan tidak terlepas dari isu gender mainstreaming, seperti diamanatkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2000, berupa keputusan untuk melakukan Gender Mainstreaming dalam berbagai aspek pembangunan di Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam ranah pembelajaran, termasuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dasar, menengah, maupun perguruan tinggi pun diharapkan tidak melupakan perspektif jender.
B. Pembelajaran Sastra Berprespektif Jender 
Sebelum menguraikan bagaimanakah idealnya pembelajaran sastra berprespektif jender dilaksanakan di kelas, terlebih dulu akan diuraikan hal pembelajaran sastra dan prespektif jender. Pembelajaran merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dari proses pendidikan. Menurut Undang-undang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut UNESCO pendidikan hendaknya dibangun dengan empat pilar, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Pembelajaran dianggap sebagai suatu interaksi peserta didik dengan pendidik dalam proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran, serta pembentukan sikap yang diharapkan mampu menjadi bekal untuk membentuk kecakapan hidupnya, sehingga berguna bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sejalan dengan pengertian tersebut, maka dalam lingkup pembelajaran sastra diharapkan setelah terlibat dalam proses pembelajaran peserta didik mampu menjadi insan berkualitas, mandiri, dan berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara. Untuk sampai pada hal ideal tersebut, Rahmanto (1988) menyatakan bahwa tujuan tersebut dapat dicapai apabila pengajaran sastra cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta, rasa, dan karsa, serta (4) menunjang pembentukan watak.
Di samping itu, juga dikemukakan bahwa pengajaran sastra memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi ideologis, fungsi kultural, dan fungsi praktis. Fungsi ideologis pengajaran sastra ialah sebagai salah satu sarana untuk pembinaan jiwa Pancasila. Fungsi kulturalnya memindahkan kebudayaan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Fungsi praktisnya membekali bahan-bahan yang mungkin berguna bagi siswa untuk melanjutkan studi atau bekal terjun di tengah kancah masyarakat.
Pembelajaran berprespektif jender dalam hal ini adalah sebuah proses pendidikan yang dijiwai oleh kesadaran adanya keadilan dan kesetaraan jender. Jender mengacu pada suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Flax, dalam Nicholson, 1990:45; Fakih, 2006:8). Konsep jender dibedakan dengan seks, yang mengacu pada perbedaan jenis kelamin yang bersifat biologis, walaupun jenis kelamin laki-laki sering dikaitkan dengan jender maskulin dan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan jender feminin (Fakih, 2006:8-9; Abdullah, 2000).
Karena merupakan hasil dari konstruksi sosial, maka ciri dari sifat-sifat tersebut menurut Fakih (2006:8) dapat saling dipertukarkan. Artinya, ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara itu juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Sejarah perbedaan jender antara lelaki dengan perempuan terjadi melalui suatu proses yang panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan, dan kontruksi sosial, kultural, keagamaan, bahkan juga melalui kekuatan negara (Fakih, 2006:9). Perbedaan jender (gender differences) tersebut telah melahirkan berbagai ketidakadilan terutama bagi kaum perempuan. Fakih (2006:12-19) mengemukakan berbagai bentuk ketidakadilan jender bagi perempuan antara lain adalah marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja lebih berat pada perempuan.
Anggapan bahwa ada jenis pekerjaan tertentu yang dianggap cocok untuk perempuan karena keyakinan jender merupakan bentuk dari maeginalisiasi perempuan. Secara jender, karena perempuan dianggap tekun, sabar, pendidik, dan ramah, maka pekerjaan yang dianggap cocok bagi mereka adalah sekretaris, guru TK, penerima tamu, bahkan juga pembantu rumah tangga. Sementara jabatan seperti direktur, kepala sekolah, atau sopir yang memungkinkan mendapatkan gaji lebih besar dipegang oleh para laki-laki.
Pandangan jender juga menimbulkan subordinasi perempuan dalam hubungannya dengan relasi jender. Karena perempuan dianggap lebih emosional, maka dianggap tidak bisa memimpin dan karena itu ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Contoh subordinasi tersebut, misalnya jika dalam rumah tangga keuangan terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak, maka anak laki-laki yang mendapatkan prioritas. Contoh lainnya, adanya anggapan bahwa semua pekerjaan yang dikategorikan sebagai reproduksi dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari pekerjaan produksi yang dikuasai oleh lelaki (Fakih, 2006:15). Perbedaan jender juga telah menimbulkan beban kerja yang lebih berat pada perempuan. Karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan bersifat memelihara dan rajin, serta tidak akan menjadi kepala rumah tangga, maka semua pekerjaan domestic dibebankan pada perempuan (Fakih, 20006:21). Dalam kasus perempuan juga bekerja di sektor publik, maka beban kerja perempuan menjadi lebih berat, karena dia juga harus melakukan semua kerja domestik. 
C. Komponen Pembelajaran Sastra Berprespektif Jender 
Untuk menunju pembelajaran sastra berprespektif jender, paling tidak ada tiga komponen yang harus diperhatikan, yaitu kurikulum, materi yang disampaikan atau diproduksi oleh institusi pendidikan, dan cara pembelajaran di kelas.
Kurikulum Berprespektif Jender Gagasan mengenai kurikulum berprespektif jender pertama kali disampaikan oleh Gaby Weiner, seorang peneliti di bidang pendidikan dan jender pada tahun 1981- 1982 di Inggris (Arivia, 2006:419). Menurut Weiner, kurikulum dalam pandangan feminis, dilihat sebagai sebuah perjuangan yang mempunyai tujuan untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan jender. Dalam hal ini, kurikulum merupakan persoalan yang penting dan pengembangan kurikulum merupakan salah satu aktivitas kaum feminis yang ditangani secara serius. Hal ini karena segala relasi kekuasaan antara lakilaki dan perempuan serta segala persoalan kesetaraan selalu akan terefleksi dalam sebuah kurikulum

No comments:

Post a Comment