Monday, 12 September 2011

MENJAWAB MASA DEPAN ISLAM


A. Pendahuluan
Istilah dekonstruksi Syari’ah[1] (Islamic Reformation) yang digunakan an-Na’im sebagai eksperimen melampaui absolutisme (fundamentalisme) dan sekulerisme ummat Islam dalam menjawab discourse kontemporer: keadilan, demokrasi, kebebasan manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap lingkungan. Kaum fundamentalisme menegaskan bahwa Islam memang sempurna dan telah memberi jawaban lengkap pada setiap masalah. Kaum sekulerisme seakan-akan ingin melarikan diri dari kenyataan, seolah-olah agama hanyalah urusan ritus belaka, sedangkan masalah sosial harus dicarikan jawaban di luar agama.[2]
Jawaban-jawaban yang diberikan umat Islam tersebut di atas tentu saja telah mengecewakan an-Na’im. Benarkah Islam telah mampu menjawab semua masalah kontemporer, benarkan masalah-masalah sosial ada jawabannya hanya di luar Islam? Bukankah Islam harus menjadi ideologi moderen yang tetap hidup.
Dalam hal ini an-Na’im telah memberikan solusinya; hukum Islam (Syari’ah) harus dirubah dan diganti dengan interpretasi baru yang applicable agar sejalan dengan tantangan yang dihadapi sekarang, karena Syari’ah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri melainkan hanyalah produk pemahaman manusia tentang sumber-sumber Islam dalam konteks sejak abad ketujuh sampai kesembilan. Bila formulasi Syari’ah tersebut diaplikasikan sekarang, ia akan melanggar hak-hak asasi kaum perempuan dan orang-orang non-muslim. Syari’ah yang dikembangkan dalam sejarah Islam membatasi penghormatan al-Qur’an terhadap hak-hak asasi manusia. Selanjutnya akan dijelaskan dalam tulisan ini tentang apa yang dimaksud reformasi Islam oleh an-Na’im, mengapa ia bersikap demikian dan apa yang melatarbelakangi pemikirannya?

B. Biografi an-Nai’m
An-Na’im adalah murid dari Mahmoed Mohamed Taha  pendiri partai The Republican Brotherhood (Persaudaraan Republik) pada akhir Perang Dunia II sebagai partai alternatif di tengah-tengah perjuangan nasionalis Sudan. An-Na’imlah yang menterjemahkan karya besar gurunya Al-Risalah al-Tsaniyah minal Islam ke dalam bahasa Inggris menjadi The Second Message of Islam, kemudian dicetak tahun 1987 setelah sembilanbelas tahun ia resmi menjadi anggota Persaudaraan Republik yang pada saat itu masih studi di Universitas Khartoum fakultas hukum.
Pada tahun 1973 ia memperoleh gelar LL.B dan Diploma di Fakultas Kriminologi Universitas Cambridge dan tiga tahun kemudian (1976) memperoleh gelar Ph.D di bidang hukum dari Universitas Edinburgh, lalu kembali ke Sudan menjadi pengacara dan dosen hukum di Universitas Khatoum. Menjelang tahun 1979 ia menjadi kepala Departemen Hukum Publik di Fakultas Hukum Universitas Khartoum.[3]
Kaum Republikan ini tetap mendukung Numeyri sepanjang tahun 70-an sampai 80-an. Dukungan diberikan selam rezim tersebut mempertahankan kebijakan nasional tentang kesatuan dan menahan diri untuk tidak memakai yang merugikan kaum perempuan dan non-muslim Sudan. Hanya setelah Syari’ah diterapkan secara paksa melalui keputusan presiden awal Agustus 1983, yang menggoyahkan  kesatuan nasional antara Muslim Utara dengan non-Muslim Selatan, maka sejak itu kaum Republikan menyatakan oposisinya terhadap rezim ini.[4]
Akibat dari pernyataan oposisinya mereka terhadap program islamisasi Numeyri, maka selama kurang lebih satu setengah tahun, An-Na’im ditahan bersama sekitar 30 orang pimpinan Persaudaraan Republik, termasuk gurunya Taha. Pada akhir tahun 1984 mereka dibebaskan, namun Taha ditangkap kembali bersama beberapa pimpinan lainnya dengan tuduhan menghasut dan pelanggaran lainnya, tetapi hanya Taha yang kemudian dihukum mati pada tangal 18 Januari 1985 oleh rezim Sudan Ja’far Numeyry. Sejak itu kelompok ini sepakat untuk tidak terlibat dalam aktivitas politik dan secara resmi membubarkan diri.[5]  

C. Metodologi Pemikirannya
Reformasi Islam (dekonstruksi Syari’ah) yang dikumandangkan an-Na’im yang kemudian bergema ke seluruh penjuru dunia sebagai respon terhadap pemikirannya bermaksud memberikan sumbangan/solusi bagi proses perubahan persepsi, sikap dan kebijakan umat Islam atas dasar-dasar Islam dan bukan sekuler. Tesisnya adalah “jika tidak dibangun dasar pembaruan modernis murni yang dapat diterima secara keagamaan, maka umat Islam sekarang dan akan datang hanya punya dua alternatif: mengimplementasikan Syari’ah dengan segala ketakmemadaian dan masalahnya, atau meninggalkannya dan memilih hukum publik sekuler”.[6]  
Menurut an-Na’im “selama umat Islam tetap setia pada kerangka kerja Syari’ah historis, mereka tidak akan pernah benar-benar mencapai tingkat keharusan pembaruan yang mendesak sepaya hukum publik Islam bisa berfungsi sekarang”.[7]  
Selanjutnya an-Na’im mengambil metode gurunya, yaitu metodologi pembaharuan yang revolusioner, yang digambarkan sebagai ‘evolusi legislasi Islam’ (modern mistical approach), yang intinya suatu ajakan untuk membangun prinsip penafsiran baru yang memperbolehkan penerapan ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah, bukan yang lainnya. Pendekatan ini jika diterapkan akan mampu memecahkan kebuntuan, atara tujuan pembaruan, keterbatasan konsep dan teknik Syari’ah historis. Prinsip naskh pembatalan teks al-Qur’an dan Sunnah tertentu untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks-teks al-Qur’an dan Sunnah untuk tujuan-tujuan penetapan hukum oleh teks al-Qur’an dan Sunnah yang lain sangat menentukan bagi validitas teoritik dan kelangsungan praktek dari pendekatan evolusioner. Kemudian memadukan teori naskh tersebut dengan prinsip-prinsip umum tentang analisa kongkret terhadap implikasi-implikasi hukum publik Islam. Utamanya terhadap keseimbangan hak-hak muslim dan non-muslim serta laki-laki dan perempuan dalam menentukan nasib sendiri. Inilah harga kemanusian yang tertimbun dalam formulasi teoritik Syari’ah tradisional.[8]
An-Na’im mengadopsi teori naskh gurunya dengan alasan bahwa pertama, pesan Mekkah adalah pesan abadi dan fundamental yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Karena pesan Mekkah ini belum siap diterapkan oleh manusia pada abad ketujuh, maka Allah menurunkan pesan Madinah yang lebih sesuai dengan kondisi zaman waktu itu. Kedua, pemberlakuan teori naskh lama itu tidak permanen, karena jika permanen berarti umat Islam menolak sebagian dari agamanya.[9]


D. Aplikasi Pemikirannya
Pemikiran an-Na’im adalah formulasi yang komprehensif, mencakup struktur politik, sosial, hukum pidana, hukum internasional, dan hak-hak asasi manusia. Dalam bukunya Dekonstruksi Syari’ah an-Na’im lebih memfokuskan pada tiga masalah pokok, yaitu perbudakan, gender dan non-muslim. Dari tiga pokok masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa hal, diantaranya berikut ini:
1.      Syari’ah dan Konstitusional Moderen
Istilah konstitusionalisme mengimplikasikan pembatasan hukum atas kekuasan penguasa dan pertanggungjawaban politiknya terhadap sekelompok manusia lain.[10] Beberapa ulama telah menyatakan pendangan bahwa karena Tuhan sendirilah pembuat undang-undang dalam Islam, maka tidak ada ruang abadi legislasi atau kekuasan legislatif di bawah Syari’ah. Hal ini dibantah oleh an-Na’im bahwa pertimbangan manusia harus tetap digunakan dalam menentukan prinsip-prinsip dan aturan-aturan Syari’ah yang bisa diterapkan. Baik al-Qur’an maupun Sunnah harus ditafsirkan untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.
Penilaian konstitusional atas model Syari’ah seperti dikemukakan di atas, jelas menunjukkan perlunya klarifikasi dua konsep yang sangat terkait dengan konstitusionalisme moderen, yaitu kedaulatan dan kewarganegaraan.
Dalam problem yang pertama, yaitu kedaulatan, Syari’ah bersikap ambivalen sehingga muncul sebagai isu mendasar dalam masalah konstitusionalisme di era moderen. Setiap muslim memang menyakini secara mendalam bahwa otoritas kedaulatan tertinggi terletak di tangan Allah[11], namun kepercayaan seperti ini tidak otomatis menunjuk siapa yang berwenang untuk bertindak atas nama kedaulatan tertinggi tersebut. Ketika Nabi masih hidup, jawaban atas masalah ini mudah diperoleh dan tidak diperselihkan. Tetapi setelah Nabi wafat, klaim posisi sebagai wakil kedaulatan Tuhan menjadi masalah. Sistem khilafah atau sistem kolektif ummah misalnya memunculkan persoalan apakah gagasan seperti ini bisa dipertemukan dengan konstitusionalisme, bagaimana mekanisme dan prosedur pemilihan secara luas dan bagaimana pertanggungjawabannya secara konstitusionalisme. Problem paling fundamental adalah pengabaian warga non-muslim dan pembatasan peran perempuan oleh Syari’ah klasik di dalam kedua sistem tersebut.[12]
Persoalah kedua yang sangat problematis adalah kewarganegaraan. Di sini, Syari’ah memusatkan perhatian pada status hukum dan hak-hak orang yang menjadi warga negra berdasarkan kelahiran dan penduduk tetap dalam wilayah suatu negara. Menurutnya, setiap warga negara menikmati kebebasan untuk mencari dan saling menukar informasi serta untuk bekerja sama dengan warga negara lain demi kepentingan umum. Konsep mayoritas dan minoritas tidak boleh didasarkan atas faktor-faktor insidental yang permanen seperti ras atau jenis kelamin yang tidak dapat diubah. Demikian pula tidak dapat dibenarkan sikap memaksa atas seseorang agar meninggalkan atribut esensial bagi kebebasan dan martabat kemanusiaannya, seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan, hanya karena ia bukan bagian dari mayoritas. Oleh karena itu, suatu kebijakan dan hukum harus selalu dibangun atas dasar rasional, yang didukung dan dihormati oleh seluruh warga negara tanpa memandang ras, jenis kelamin, atau agama dan kepercayaannya. Kita, kata an-Na’im tidak dapat berharap banyak kepada orang-orang yang hak-hak mereka dibatasi dan ditundukkan secara abadi pada aspirasi mayoritas agar mempertahankan kesetian kepada negara dan undang-undang, tanpa ada peluang untuk menjadi mayoritas itu sendiri.[13]
Dengan demikian, reformasi beberapa aspek Syari’ah untuk dapat menjadi konstitusional moderen merupakan keniscayaan. Konsep Syari’ah tentang ummah, misalnya sebagai wakil kolektif kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia hanya akan dapat menjadi landasan konstitusional jika cakupannya direvisi dengan memasukkan seluruh warga negara atas dasar kesamaan mutlak, tanpa diskriminasi berdasarkan agama ataupun jenis kelamin. Dalam kenyatannya model negara Syari’ah historis sebagai bentuk idealitas yang ingin dicapai dan dilaksanakan oleh umat Islam sekarang sangat problematis dengan berbagai kompleksitas implikasinya dan tidak akan sesuai degan standar konstitusionalisme moderen.
Problem pertama terkait dengan status konstitusional Syari’ah bahwa umat Islam merupakan satu-satunya warga negara penuh dalam negara Islam Syari’ah yang secara teoritik berhak penuh terhadap hak-hak sipil dan politik. Di dalam aturan ini terdapat batasa lain yang juga problematis, yaitu setiap muslim tidak boleh keluar dari Islam (murtad/apostacy). Status murtad dan pelaksanaan hukumannya oleh pihak yang berwenang. Seseorang dinilai murtad ketika penguasa menentukannya bersalah karena menurut penguasa tersebut, mempertahankan pandangan dan pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam, dengan mengabaikan pandangannya sendiri tentang hubungannya dengan Islam. Dengan kata lain, keimanan kepada Islam secara obyektif ditentukan oleh mereka yang berwenang, bukan subyektif ditentukan oleh mereka yang bersangkutan.[14]
Batasan kedua yang problematis terkait dengan hak-hak sipil dan politik perempuan muslim. Di sini Syari’ah tidak mengakui kebebasan  perempuan untuk berpartisipasi dlam kehidupan publik secara penuh dengan berbagai argumentasi yang dijadikan landasan.
Problem kedua, sebagai akibat dari problem pertama terkait dengan status konstitusional non-muslim. Mereka dianggap sebagai warga negara kelas dua dan oleh karena itu tidak memiliki hak sipil da politik secara penuh serta tidak berhak berpartisipasi secara luas, meskipun mereka lahir dan dibesarkan dalam wilayah  negara Islam. Mereka diklassifikasi kepada kelas ahl al-Dzimmah dan mustam’man yang harus membayar jizyah.[15]
Problem ketiga tentang persamaan di depan hukum. Diskriminasi berdasarkan agama dan gender di atas menimbulkan perbedaan perlakuan di depan hukum antara muslim dan non-muslim dan antara pria dan wanita.

2.      Syari’ah dan Hak-hak Asasi Manusia
Ada suatu prinsip normatif umum yang dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar, yang mampu menopang standar universal hak-hak asasi manusia. Prinsip itu menyatakan bahwa seseorang harus memperlakukan orang lain sama seperti ia mengharapkan diperlakukan orang lain. Aturan yang teramat indah ini mengacu pada prinsip resiprositas yang sesungguhnya dimiliki oleh semua tradisi agama besar di dunia. Selain itu kekuatan moral dan logika dari proposisi yang sederhana ini dapat dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia, baik tradisi kultural maupun persuasi filosofis.[16] Prinsip ini juga didukung oleh teori-teori feminisme moderen yang berasumsi bahwa individu adalah makhluk hidup otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukn hidupnya sendiri.[17] Selain daripada itu, menurut Taha bahwa prinsip murni dalam Islam adalah kebebasan. Perbudakan bukan ajaran murni Islam. Diskriminasi laki-laki dan perempuan bukan ajaran murni Islam, poligami bukan ajaran murni Islam dan perceraian juga bukan ajaran murni Islam.[18]
Problem berkenaan dengan penggunaan prinsip resiprositas dalam konteks ini adalah kecendrungan tradisi kultural, khususnya agama, untuk membatasi penerapan prinsip terhadap keanggotaan tradisi kultural dan agama yang lain, bahkan pada kelompok tertentu dalam tradisi/agama itu sendiri. Konsepsi prinsip resiprositas historis berdasarkan Syari’ah tidak berlaku bagi perempuan dan non-muslim sebagaimana untuk laki-laki muslim. Intinya menurut an-Na’im bahwa hak-hak asasi manusia didasarkan pada kedua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas. Melalui kehendak untuk hidup, umat manusia selalu berusaha keras untuk menjamin kebutuhan makan, perumahan dan apa saja yang berkaitan dengan pemeliharaan hidup.
Hak untuk mencari kepuasan klaim-klaim yang sah terhadap kedua kekuatan tersebut dijamin oleh setiap tradisi budaya untuk anggota-anggotanya dan oleh karena itu, sesuai dengan prinsip resiprositas, dijamin untuk anggota-anggota tradisi yang lain. Hal ini menurut an-Na’im merupakan dasar universalitas hak asasi manusia dalam batasan minimum. Dengan menerapkan kriteria sederhana ini, kita dapat mengidentifikasi hak-hak tersebut, mengklaim dan berhak melindungi sebagai hak-hak asasi menusia meskipun hak-hak itu tidak diidentifikasi begitu oleh dokumen formal manapun.[19]
Penghapusan perbudakan mungkin baik sebagai contoh pertama dari penerimaan hak-hak asasi internasional sebagai suatu batasan terhadap jurisdiksi domestik. Contoh lain kerja sama internasional awal dalam bidang hak-hak asasi manusia adalah gerakan menghapuskan penganiyaan dan diskriminasi terhadap minoritas agama. Bidang ketiga dari hak-hak asai manusia universal yang muncul adalah larangan diskriminasi atas jenis kelamin.[20]
An-Na’im menegaskan disini dengan alasan bahwa pandangan Syari’ah yang membatasi hak asasi manusia dibenarkan oleh konteks historis, tetapi tidak untuk mengatakan bahwa pandangan itu masih dibenarkan karena konteks historis sekarang sudah berbeda sama sekali. Hukum Islam moderen tidak dapat mengesampingkan konsep hak-hak asasi manusia mutakhir jika ia harus diterapkan sekarang.[21]
Menurut an-Na’im satu-satunya pendekatan yang efektif untuk mencapai pembaruan Syari’ah yang memadai dalam hubungannya dengan hak-hak asasi manusia universal adalah menyebut sumber-suber dalam al-Qur’an dan Sunnah yang tidak sesuai dengan hak-hak asasi manusia universal dan kemudian menjelaskannya dalam konteks historis, sembari mencatat sumber-sumber yang mendukung hak-hak asasi manusia sebagai prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum Islam yang secara sah dapat diterapkan sekarang.[22]
Diantara diskriminasi gender dan agama:
-       Seorang laki-laki Muslim boleh mengawini perempuan Kristen atau yahudi, tetapi laki-laki kristen atau yahudi tidak boleh mengawini perempuan Muslim.
-       Seorang Muslim tidak dapat mewarisi atau mewariskan hartanya kepada saudaranya yang non-muslim.
-       Laki-laki Muslim dapat mengawini empat orang perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan Muslim hanya dapat kawin dengan seorng laki-laki dalam waktu bersamaan.
-       Seorang laki-laki Muslim dapat menceraikan istrinya begitu saja, sementara seorang perempuan hnaya boleh bercerai hanya atas kerelaan suaminya.
-       Dalam pewarisan seorang peremuan Muslim hanya mendapat sebagian dari bagian pria.
 Perbudakan dan diskriminasi gender serta agama merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Inilah titik konflik dan ketegangan yang paling serius antara Syari’ah dan hak-hak asasi manusia universal.
Penerapan prinsip evolusioner taha terhadap qawwama (perwalian) laki-laki terhadap perempuan telah dirasionalisasi oleh ayat 4:34 sebagai akibat ketergantungan perempuan terhadap laki-laki dalam bidang ekonomi dan keamanan. Karena ketergantungan itu tidak ada lagi, maka perwalian laki-laki terhadap perempuan pun dianggap selesai. Baik itu laki-laki maupun perempuan yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab yang sama di depan hukum, yang menjamin kesempatan ekonomi dan keamanan bagi seluruh anggota masyarakat.
Demikian juga suami non-muslim tidak dapat menjadi wali istri muslimahnya. Jika perwalian suami terhadap istri, muslim terhadap non-muslim dihapus, maka tidak akan ada lagi pembenaran terhadap larangan  perkawinan antara seorang perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim.[23] Dalam hal ini tidak ada larangan perkawinan seorang perempuan Muslim dan laki-laki non-muslim perlu diberi catatan, karena hal ini akan berakibat terhadap agama-agama mana yang akan dianut oleh anak-anak mereka nanti. Permasalahan ini masih perlu klarifikasi.
E. Analisis
Pemahan an-Na’im terhadap konsep naskh berbeda dengan apa yang telah berlaku dalam literatur yurisprudensi Islam. Hal ini didasarkan ayat naskh (2:106) yang diterjemahkan Taha sebagai berikut: “Ayat yang kami naskh (menghapuskan hukum suatu ayat) atau yang Kami tunda pelaksanaan hukumnya, maka Kami gantikan dengan ayat yang lebih dekat dengan pemahaman manusia, atau memulihkan berlakunya ayat itu pada saat yang tepat”.[24]
Fenomena naskh yang diakui oleh para ulama, merupakan bukti terbesar akan adanya dialektika hubungan antara wahyu dengan realitas. Namun muncul dua problem mendasar yaitu, (1) bagaimana mengkompromikan antara fenomena ini dengan konsekuensi yang ditimbulkannya, yaitu perubahan teks dengan naskh dengan keyakinan umum dan kuat tentang adanya wujud azali dai teks di Lauh Mahfuz? (2) bahwa sebagian dari teks telah terlupakan dari ingatan ketika pengumpulan al-Qur’an masa Abu Bakar.[25]
Naskh yang dimaksud an-Na’im adalah suatu teks masih menjadi bagian al-Qur’an tetapi dianggap tidak berlaku secara hukum. Hal ini didasarkan atas pembedaan antara surat al-Qur’an yang diwahyukan selama periode Makkah dan Madinah. Surat Makkah lebih memperhatikan masalah spiritual dan cakrawala keagamaan, sedang surat Madinah problem politik, social dan hukum menjadi lebih ditekankan.[26] An-Na’im lebih jauh menegaskan bahwa kaum Muslim bebas menemukan ayat-ayat mana yang sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka. Dengan kata lain bahwa Syari’ah histories yang dimaksud an-Na’im hanya berlaku bagi masyarakat muslim masa lampau, sedang bagi masyarakat sekarang adalah menerapkan ayat-ayat yang menekankan konstitusionalisme, hak asasi manusia dan internasionalisme.
An-Na’im dengan teori naskh yang diadopsi dari gurunya ingin mengatakan bahwa ayat yang digunakan sebagai basis hukum Islam pada saat ini dicabut dan digantikan dengan ayat yang terhapus untuk dijadikan basis hukum Islam moderen. Untuk lebih mudah memahami proses pembalikan naskh tersebut mungkin dapat diilustrasikan sebagai berikut:





















Teori naskh yang dikedepankan oleh an-Na’im seirama dengan teori fenomenologi yang yang dibangun Edmund Husserl. Dimana teori tersebut membiarkan fakta (al-Qur’an) berbicara apa adanya tanpa ada penilaian subyektif. Namun salah satu kelemahan pendekatan an-Na’im adalah perhatiannya yang terlalu besar terhadap teori naskh, karena hanya sebagian kecil saja ayat-ayat madaniyah yang berfungi sebagai nasikh bagi ayat-ayat Makkiyah, selebihnya ayat-ayat tersebut berfungsi sebagai tafshil al-mujmal, takhshish al-‘aam, taqyid al-muthlaq dan sebagai penyempurna. As-Suyuti menjelaskan bahwa hanya 21 ayat al-Qur’an yang menerima naskh.[27] Adapun mengenai alasan sedikitnya ayat yang dinaskh, menurut asy-Syatibi adalah karena hukum-hukum kulliyat dan kaidah ushuliyah dalam agama.[28]  
Disamping itu, menurut Arkoun metodologi pembaharuan hukum Islam an-Na’im merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses revolusioner dalam bentuk konstitusionalisme moderen, hukum internasional moderen, hak asasi manusia dan hukum pidana yang telah berlangsung untuk pertama dan hanya di Eropa. Oleh sebab itu, tidak heran jika an-Na’im banyak menggunakan kesimpulan-kesimpulan para orientalis untuk memastikan relevansi upayannya dengan tuntutan modernitas.[29] Hal itu nampak dari pengakuan an-Na’im bahwa sains Barat, walaupun tidak dapat memberikan moralitas global dan kerangka hukum anutan bagi perlindungan hak asasi manusia, sangat berguna dalam mempertajam metodologi penelitian ilmiah yang berusaha menemukan landasan lintas budaya bagi hak asasi manusia internasional.[30]

F. Kesimpulan
Latar belakang pemikiran an-Na’im sangat dipengaruhi oleh keadaan politik di Sudan yang sempat menimbulkan konflik dan ketegangn antara Sudan Utara dengan Sudan Selatan di bawah pemerintahan Numeyry yang juga menghukum mati gurunya Mahmoed Muhamaed Taha.
Syari’ah, dipahami oleh an-Na’im sebagai hasil dari interpretasi generasi muslim awal terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Berangkat dari pemahaman inilah, kemudian an-Na’im mengembangkan teori gurunya Taha yaitu evolusi hukum Islam (naskh) dan menjadikannya sebagai solusi terhadap kebuntuan Syari’ah yang dipahami kaum fundamental dalam menjawab wacana kontemporer seperti keadilan, demokrasi, kebebasan manusia sebagai individu dan kewajibannya terhadap lingkungan.






Daftar Pustaka

Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoirun Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS, 2001

Al-Qaththan, Manna‘, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: al-‘Asr al-Hadits, tt.

An-Na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan Hubungan Internasional dalam Islam, alih bahasa oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, Yogyakarta: LKiS, 1997, cet. II

Arkoun, Mohammed, et. al., Dekonstruksi Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, Yogyakarta: LKiS, 1996, cet. I

Asy-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafaqaat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1975

Kurxman, Charles, Liberal Islam, New York: Oxford university press, 1998

Taha, Mahmoud Mohamed, Syari’ah Demokratik, alih bahasa oleh Nur Rachman, Yogyakarta: eLSAD, 1996, cet. I




* Dosen Tetap DPK IAIN Mataram (diperbantukan IAIH Pancor
[1] Istilah yang digunakan oleh Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani dalam menerjemahkan buku Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rigths and International Law karya an-Na’im.
[2] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah, terj. Ahmed Suaedy dan Amiruddin Arrani, (Yogykakarta: LkiS, 1997), hal. vii-viii
[3] Ibid., hal. xi
[4] Mahmoud Mohamed Taha, Syari’ah Demokaratik, terj. Nur Rachman, (Surabaya: eLSaD, 1996), hal. 36-37
[5] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi..., hal. 27-52
[6] Ibid., hal. 21
[7] ibid., hal. 69
[8] Ibid., hal. 69-70
[9] Ibid., hal. ix

[10] Ibid., hal. 150
[11] Ibid., hal. 160-161
[12] Ibid., hal. 164
[13] Hal ini pula merupakan salah satu tema pokok al-Qur’an sebagaimana dalam banyak ayat, seperti, QS 2:110 dan 3:26-27
[14] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi…, hal. 160-161
[15] Ibid., hal. 164
[16] Ibid., hal. 190
[17] Ibid., hal. 299-300
[18] Charles Kurxman, Liberal Islam, (New York: Oxford university press, 1998, hal. 223
[19] Mahmoed Mohamed taha, Syari’ah…, hal. 199-206
[20] Charles Kurxman, Liberal…, hal. 224                                       
[21] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi..., hal. 310-313
[22] Ibid., hal. 316-318
[23] Ibid., hal. 328
[24] Ibid., hal. 70,104
[25] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoirun Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS, 2001), hal. 153-154
[26] M. Arkoun, et. al., Dekonstruksi Syari’ah II: Kritik Konsep, Penjelajahan Lain, (Yogyakarta: LKiS, 1996), hal. 18
[27] Manna‘ al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: al-‘Asr al-Hadits, tt.), hal. 242
[28] Abu Ishaq Asy-Syatibi, al-Muwafaqaat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1975), hal. 406
[29] Arkoun, Dekonstruksi…, hal. 20,11
[30] Abdullah Ahmed an-Na’im, Dekonstruksi…, hal. 129

No comments:

Post a Comment